mejuah-juah
Konon di sebuah desa terpencil di Tanah Karo Simalem, lahirlah seorang anak yang dimana hari kelahirannya tersebut menurut penanggalan Karo pada hari nunda, hari yang dipercaya merupakan hari kesialan yang dapat membawa petaka bagi kedua orangtuan-nya, keluarga, bahkan sekitarnya.
Tidak berselang lama, hal itu benar-benar nyata terjadi. Sebagai permulaanya, sang ibu meninggal dunia empat hari setelah melahirkannya, dan pada saat dia berusia delapan hari, menyusul sang ayah yang pergi meninggalkannya untuk selamanya. Tinggal-lah kini bayi sebatang kara tanpa kedua orangtua-nya!
Kemudia dia diasuh oleh bibinya, akan tetapi sang bibi itu juga ketakutan akan mengalami kesialan seperti kedua orangtua si bayi, maka anak itu di taruh bibinya di depan turĂ©- turĂ©(beranda) rumah dengan harapan bayi itu akan mati kekeringan(haus – lapar) di terpa teriknya matahari ataupun di bawa oleh hewan buas. Akan tetapi, tidak! Si bayi yang ditakuti membawa petaka itu tetap hidup dan menangis keras layaknya seorang bayi yang kehausan dan lapar, yang membuat seisi rumah adat (rumah adat Karo dihuni oleh beberapa jabu(keluarga), biasanya empat, delapan, bahkan enambelas jabu) menjadi terganggu dan marah. Kemudia sang bibi dengan beralasan kalau bayi itu haus dan ingin menyusu pada ibunya, maka ditaruh dibawah kolong di dalam kandang yang berisi induk babi dan anak-anak babi, berharap agar bayi itu ditimpa(diinjak) oleh induk babi lalu mati. Akan tetapi, itu juga tidak berhasil! Bayi itu tetap hidup dan menyusu pada induk babi.
Kehabisan akal, akhirnya sang bibi membuang bayi itu ke jurang di hutan, berharap dia mati dan dimakan binatang buas atau dimakan oleh Sedang Bela(hantu pemakan manusia khususnya bayi yang baru lahir atau yang masih dalam kandungan) Tetapi, si bayi tetaplah hidup!
Tepat saat kejadian itu, saat dimana si bayi dibuang ke jurang di huta, kebetulan Sedang Bela dan anak-anaknya sedang bermain di dasar jurang itu. Anak-anak Sedang Bela mendengar tangisan bayi dan menghampirinya serta ingin memakannya, akan tetapi dilarang oleh ibunya, karena katanya anak itu memiliki kesaktian. Kemudian, Sedang Bela dan istrinya sepakat untuk membesarkan bayi itu.
Setelah anak itu besar, kira-kira delapan tahun sudah diasuh oleh Sedang Bela dan keluarganya, bertanyalah anak itu kepada Sedang Bela ‘apakah yang menjadi antinya agar terhindar dari gangguan sedang bela’, maka ia menjawab: jerangau, purih tonggal, upih sampe-sampe, pudang, apar-apar. Sehingga, pada acara mbaba anak ku lau(memandikan anak) semua ini dibawa untuk menghindarkan si anak dan ibunya dari gangguan Sedang Bela ataupun dalam kegiatan merajah diri(teraka).
Tidak berselang lama, hal itu benar-benar nyata terjadi. Sebagai permulaanya, sang ibu meninggal dunia empat hari setelah melahirkannya, dan pada saat dia berusia delapan hari, menyusul sang ayah yang pergi meninggalkannya untuk selamanya. Tinggal-lah kini bayi sebatang kara tanpa kedua orangtua-nya!
Kemudia dia diasuh oleh bibinya, akan tetapi sang bibi itu juga ketakutan akan mengalami kesialan seperti kedua orangtua si bayi, maka anak itu di taruh bibinya di depan turĂ©- turĂ©(beranda) rumah dengan harapan bayi itu akan mati kekeringan(haus – lapar) di terpa teriknya matahari ataupun di bawa oleh hewan buas. Akan tetapi, tidak! Si bayi yang ditakuti membawa petaka itu tetap hidup dan menangis keras layaknya seorang bayi yang kehausan dan lapar, yang membuat seisi rumah adat (rumah adat Karo dihuni oleh beberapa jabu(keluarga), biasanya empat, delapan, bahkan enambelas jabu) menjadi terganggu dan marah. Kemudia sang bibi dengan beralasan kalau bayi itu haus dan ingin menyusu pada ibunya, maka ditaruh dibawah kolong di dalam kandang yang berisi induk babi dan anak-anak babi, berharap agar bayi itu ditimpa(diinjak) oleh induk babi lalu mati. Akan tetapi, itu juga tidak berhasil! Bayi itu tetap hidup dan menyusu pada induk babi.
Kehabisan akal, akhirnya sang bibi membuang bayi itu ke jurang di hutan, berharap dia mati dan dimakan binatang buas atau dimakan oleh Sedang Bela(hantu pemakan manusia khususnya bayi yang baru lahir atau yang masih dalam kandungan) Tetapi, si bayi tetaplah hidup!
Tepat saat kejadian itu, saat dimana si bayi dibuang ke jurang di huta, kebetulan Sedang Bela dan anak-anaknya sedang bermain di dasar jurang itu. Anak-anak Sedang Bela mendengar tangisan bayi dan menghampirinya serta ingin memakannya, akan tetapi dilarang oleh ibunya, karena katanya anak itu memiliki kesaktian. Kemudian, Sedang Bela dan istrinya sepakat untuk membesarkan bayi itu.
Setelah anak itu besar, kira-kira delapan tahun sudah diasuh oleh Sedang Bela dan keluarganya, bertanyalah anak itu kepada Sedang Bela ‘apakah yang menjadi antinya agar terhindar dari gangguan sedang bela’, maka ia menjawab: jerangau, purih tonggal, upih sampe-sampe, pudang, apar-apar. Sehingga, pada acara mbaba anak ku lau(memandikan anak) semua ini dibawa untuk menghindarkan si anak dan ibunya dari gangguan Sedang Bela ataupun dalam kegiatan merajah diri(teraka).