Sabtu, 02 Juli 2011

U N J U K

 by: Bastanta P. Sembiring 

“Unjuk (sebutan untuk beru/br  atau wanita dari keluarga Ginting) anakku” sambil menangis.

            “Apa Nande(ibu)?” jawab Sri Malem Malem Br (br/beru = wanita; menungjukkan (gen) perempuan) Ginting Munthe.

            “Apa tidak ada lagi kata-kata bijak nande ras bapadu (bapak) anakku, yang mengena di hati yang dapat meluluhkan hatidu itu, anakku? Sekeras itukah hatindu, maka tidak kam (Anda, kamu, engkau) hiraukan lagi pinta nandedu ini dan bibidu? Oh, anakku buah baraku (jantung hatiku), kelengkengkel ateku (yang ku sayangi)!” sambil terseduh-seduh menghusap air matanya.

            “Maafkan anak’du (du = mu; anakdu : anakmu) o, Nd (nande) br Tambarmalem! (sebutan/sapaan lazin untuk Merga/beru Perangin-angin) Bukan maksudku untuk nyimbak (melawan, menentang) katadu o, nande! Tetapi, cintaku kepada Sembiring Mergana yang sudah terlalu dalam oh, nandeku!” sambil menangis meneteskan air matanya dan memeluk ibunya.
 “Kam sendiripun sudah mengetahuinya, bahwa kami saling mencintai dan itu sudah terjalin sejak lama. Maafkan aku, nande!”

            “Njuk (unjuk)! Kam tidak boleh berkata demikian di hadapan nande, bapa, dan turang’du (turang = persaudaraan lain jenis kelamin. Misal: peria – wanita; wanita – peria) begitupun bibi dan bengkiladu (bengkila = paman/suami dari bibi saudari dari ayah) anakku.  Mehangke bage (mehangke = sungkan, tidaklah sopan. Bage = seperti ini, bagini) kalau kam seorang singuda-nguna (anak gadis) berkata demikian, anakku!” Bibinya menasehati Unjuk (Sri Malem Br. Ginting Munthe). “Kalau kam ada maksud, kam kan bisa turiken (ceritakan, utarakan, sampaikan) kepada bibi’du ini anakku permain (anak saudara laki-laki/anak keluarga kalimbubu, menantu) kel bibina.”

            “Aku tahu akan itu oh, Bibi br Ginting!” jawab Malem, sambungnya lagi: “Tetapi, kam juga sudah ketahui yang terjadi, dan semua sudah ku utarakan kepada kalian sejak dahulu.”

            “Dasar, anak durhaka! Tidak tahu balas budi!” hardik ayahnya “Buat malu saja!” sambil menarik Malem dari pelukan ibunya dan melayangkan tangannya menampar putrinya itu.

            ‘Paaaar....’ satu tamparanpun mendarat di pipi kanan Malem, membuat seisi ruangan itu terdiam. Hanya isak tangis dan rintihan kesakitan dari mulut Sri Malem Br. Ginting Munthe saja yang terdengar kala itu.

            “Pokoknya saya tidak mau tahu! Kamu harus jauhi lelaki itu, atau....” ancam ayahnya, sambungnya: “Sutta! Bawa turangmu itu ke kamarnya dan kurung dia” dengan emosi, Dharma Ginting Munthe menyuruh puteranya Sutta Ginting Munthe mengurung adiknya itu di kamar.

***************

               Di dalam kamar di depan jendela, Sri Malem Br. Ginting Munthe menatapi langit yang tak berbintang, namun bulan bersinar dengan terangnya. Tangisnya meratapi nasibnya : “Oh, nande! Oh, bapa! Apakah salah jikalau anak’du beru Ginting ini mencintai seorang peria yang bukan dari keluarga keturunan Sibayak (bangsawn Karo, raja). Salahkah aku mengutarakan cintaku? Salahkah aku ingin mengejar impianku untuk bersatu dengan cinta sejatiku?” sesekali terdengar isak tangisnya dan tarikan nafasnya yang berat. Air matanya tercurah membasahi sekucur wajah cantiknya.

“Oh, bulan! Katakanlah pada kekasihku bahwa cintanya sedang bersedih dan menanti kehadirannya. Oh, angin yang berhembus sampaikanlah salam rinduku kepadanya dan katakan: cintaku hanya untuk dia seorang” terhenti sejenak dan menangis. Itu berulang-ulang terdengar keluar dari mulutnya.

            “Oh, malam yang sunyi dan tak berbintang! Dengarlah keluh-kesahku. Janganlah biarkan ini menjadi malam yang terakhir untukku” sambil terus menangis meratapi nasibnya, karena esok hari akan datang tamu yang sedikitpun tidak diharapkan kedatangannya. Ayah Malem sudah merencanakan ingin menikahkan puterinya itu dengan beberenya (bebere = keponakan, anak turangnya/bibi Malem) dan besok sore keluarga impalnya (pariban) itu akan datang bersama anak berunya (anak beru = kelompok keluargan dari turang, bibi (turang ayah), maupun turang kakek, dst) dan sangkep geluhnya (sangkep geluh = kerabat, keluarga/sanak saudara), untuk melamar Malem. Dan sedikitpun Malem tidak menyukai perjodohan ini karena dia sudah memiliki tambatan hati, yakni: Sangapta Sembiring Meliala.

            Kala itu Malem berencana ingin mengakhiri hidupnya kalau saja perjodohan ini terus dilanjutkan, karena sedikitpun dia tidak menyukai impalnya Karo-karo Sitepu Mergana itu.

            “Oh, Mama (panggila untuk peria)Biringku, bere kel Gintingna (bere/bebere mamana = beru/merga dari ibu/ darah keturunan yang dibawa oleh ibu), jadikel ateku (harapanku), dengarlah suara kekasihmu memanggilmu dan segeralah datang kepadaku dan bawaku pergi jauh ke tempat dimana tiada seorang pun yang akan mengusik cinta kita berdua,” Sambungnya lagi “ Oh, bulan si ersinalsal (sinalsal = terang, bersinar), masih adakah keberuntungan yang akan menghinggapiku dan cintaku? Yang akan membawakan Mama Biringku ke hadapanku.” sambil menepuk-nepuk dadanya dan terus menangis.

            Dari balik pintu ibu tirinya Malem dan seninanya Keriahen (senina = persaudaraan satu jenis kelamin. Misal: peria – peria, wanita – wanita) mendengar keluhnya dan turut bersedih serta prihatin melihat anaknya tersebut.

            Tak henti Malem terus menangis dan melampiaskan keluh kesahnya meratapi cinta yang terhalang oleh setatus sosial itu “Masihkah ada harapan cintaku akan bersatu, masihkah? Jikalau ia reduplah sejenak sinarmu hai rembulan malam, pertanda cintaku tak’kan terpisahkan selamanya namun, jikalau tidak biarlah sinarmu semakin malam - semakin terangnya. Setidaknya permakan (gembala) i mbal-mbal ( gurun, padang rumput, lapangan) simbelang (mbelang = luas) berbahagia dan bernyanyi melantunkan syair-syair cinta di malam ini dengan pancaran sinarmu yang terang benderang.”

            Air matanya semakin deras tak tertahan, rintihan tangisnya semakin keras “Oh, Mama Biringku! Datanglah kepadaku saat ini juga dan bawalah aku. Jikalau sampai ayam berkokok engkau tak kunjung datang juga maka, engkau tidak akan pernah bertemu dan melihatku lagi sampai selamanya.....”

        Apakah ini muzijat atau entahlah... tiba-tiba malam menjadi sangat gelap, bulan seperti tidak lagi memantulkan sinar, sepertinya sang rembulan malam juga ikut menangis meratapi kesedihan beru Ginting Munthe. Sekejab senyum yang sudah lama hilang kembali terpancar dari wajah Sri Malem Br. Ginting Munthe.

            “Oh, rembulan malam! Apakah ini pertanda masih ada harapan untuk cintaku? Apakah kekasihku akan datang menghampiriku?” sambil menghapus air matanya yang sudah mulai mengering di pipi lembutnya.

            Dari balik pintu kamar, ibu tiri Malem mengetuk pintu. Terdengar: tok-tok-tok. “Malem, Malem” panggilnya seperti berbisik.

            “Apa, kam itu nande?” jawab Malem dari dalam kamar di balik pintu.

            “Jangan keras-keras!” Sambungnya “Nande sudah menyuruh seninadu Keriahen untuk mengatakan hal ini kepada si Sangap (Sangapta Sembiring Meliala) dan menyuruhnya agar menunggumu di tapin (tepian, pinggir) lau (air/kali/sungai) dan jikalau nanti ada tiga orang wanita yang membawakan makanan kepadamu ikuti dia sampai ke tempat yang sudah direncanakan, dan dari sana Suang (pembantu keluarga Dharma Ginting) akan membawa kam (anda, kamu: yang biasa di gunakan dalam bentuk sopan/formal) bertemu dengan Sangap.”

            “Iya, nande! Bujur(terima kasih) nande!” balas Malem “Kam bukan ibu kandungku tapi, kam engkelengi (mengasihi) aku melebihi semua ibu di dunia ini o, nande Nangin!.” Sambil menghapus air matanya yang kembali menetes karena terharu. Dan setelah itu ibu dan seninanya pergi mengatur pelarian ini.

            Beberapa saat kemudian, di kamar, ayah dan ibu Malem.

“Bapa Sutta (ayah Sutta. Sutta adalah anak lelaki dan tertua di keluarga itu, sehingga Dharma Ginting di panggil dengan sebutan “Bapa Sutta”) kam jangan terlalu keras sama putri kita itu.”

            Dengan emosi Dharma Ginting menjawab: “Sudahlah! Kam tidak usah membelanya! Anak itu sudah buat keluarga kita malu! Sudah mencoreng nama baik keluarga kita, dan sudah bikin banyak masalah buat keluarga ini!”

            “Tetapi, dia-kan anak kita!” sela ibu tiri Malem. “Jadi, walaupun apa yang terjadi tetap menjadi tanggung jawab kita untuk menyayanginya.”

           “Hah! Anak kita?” hentaknya “Dia anakku! Jadi, aku lebih tahu dan lebih berhak menentukan jalan hidupnya!”

            Ibu tiri Malem hanya menangis. Alangkah terpukulnya dia mendengar perkataan suaminya itu. Anak-anak yang sangat dia sayangi dan dianggap seperi anak kandung sendiri, namun sang ayah mengatakan hal demikian. Sangkin terpukunya, dia menangis sekeras tenaganya.

            “Bapa Sutta! Selama ini aku tidak pernah membeda-bedakan anak kita, baik Sutta dan Malem yang bukan anak yang lahir dari rahimku, maupun Keriahen yang merupakan anak kita berdua. Aku mengasihi keluarga ini dengan tulus, sepenuh hati dan tiada terpikir untuk membedakan satu dengan lainnya.” Sambil tersedu menahan kepiluan hatinya mendengarkan perkataan suaminya dia terus berkata “Suatu kebahagiaan bagi seorang ibu untuk dapat mengasihi dan menyayangi anak-anaknya, akan tetapi, malam ini kam telah menyakiti hati seorang ibu dengan berkata demikian.”

            “Sudah, sudah!” sambil berjalan Dharma menyela perkataan istrinya dan meninggalkannya di kamar menangis sendirian.

            Sementara itu di tampat yang lain: Tok-tok-tok,  kembali terdengar: tok-tok-tok. “Siapa”  tanya Malem dari dalam kamarnya.

            “Ini aku amei (amei/mei; butet/tet; ru/br/beru : panggilan untuk anak perempuan)” jawab Suang dengan suara lembut seperti berbisik.

            “Kam itu Mama (Paman: saudara ibu/semua biak kalimbubu/lelaki, yang setara ayah dalam hal usia, atau tutur)?” tanya Malem lagi.

            “Iya, anakku,” Jawabnya “Nande’du menyuruhku untuk membawa kam kepada si Sangapta.”

            “Tetapi, bagai mana caranya Ma?” lanjutnya lagi. “Ini sangat berbahaya, dan kalau ketahuan sama bapa (bapak, ayah), kam bisa diusir dari sini” Malem mencoba menjelaskan kalau hal ini sangatlah berbahaya jika di lakukan.

            “Iya, aku tahu anakku” jawabnya lagi: “Makanya, nanti jikalau ada tiga orang wanita membawakan makanan kepada’du ikuti apa yang mereka katakan. Dan aku menunggundu di bawah pohon besar di pinggir kesain(halaman, dusun) . Apa kam mengerti?”

            “Iya, Ma! “ jawab Malem datar.

            Setelah itu Suangpun cepak bergegas pergi dari tempat itu. Beberapa saat kemudian, pintu dibuka dan tiga orang wanita masuk membawa makanan untuk Malem.

            “Beru Ginting, pakailah pakaian ini dan ikutlah kami keluar dan salah seorang dari kami akan tetap di dalam kamar menggantikan’du”

            Tanpa buang-buang waktu Malem pun memakai pakaian yang diberikan tiga wanita itu dan mengikuti dua diantara mereka berjalan keluar, namun salah satu diantara mereka tetap di kamar dan tidur di atas ranjang Malem, agar yang melihat mengira Malem sedang tidur.

            Saat di luar kamar tiba-tiba ayah Malem datang, dan bertanya kepada mereka bertiga: “Apakah dia sudah makan?” tanyanya kepada tiga wanita itu tak menyadari bahwa salah satu dari ketiga wanita itu adalah putrinya Malem karena mereka bertiga memakai tudung.

            “Belum bapa. Beru Ginting itu tidak mau makan dan hanya terdiam dan menutup dirinya dengan selimut diatas ranjangnya” jawab salah satu dari mereka.    

            Saat menoleh kedalam kamar Dharma Ginting melihat suatu benda bergerak-gerak diatas ranjang anaknya “Oh, ternyata dia tidur” pikirnya. “Ya sudah, kalau dia lapar, nanti akan dimakannya juga makanan yang telah kalian berikan.” Sambungnya lagi, “penjaga tutup pintunya dan tetap berjaga”

            Merekapun berjalan keluar dengan perlahan agar jangan ada yang curiga. Di luar rumah sudah berjaga-jaga para juak-juak (pegawai, suruhan) keluarga Ginting Mergana. Malem pun terus berjalan dari kegelapan di belakang rumah-rumah penduduk. Sesampainya di luar kesain, dibawah kayu besar dan rindang tampak seorang lelaki tua berkuda sedang menunggu seseorang.

            “Kam itu Mama?” tanya Malem.

            “Iya, beru!” jawab Suang “Ayo lekas kita pergi, jangan membuang-buang waktu. Sangapta sudah menantimu di tapin Lau Simalem. Ayo!”

            Malem pun naik ke atas kuda dan bersama Suang dia menuju tempat dimana Sangapta sudah menanti mereka.

***************

            Sementara itu di sapo mbelin (rumah/kediaman, istana) Ginting Mergana. Juak-juak wanita yang tadinya tinggal di dalam kamar Malem membuka jendela dan perlahan keluar dari jemdela agar jangan ada yang curiga. Dengan perlahan dia turun dari jendela; membiarkan jendela tetap terbuka, dan menjatuhkan uis gara (ulos/kain khas tradisional Karo yang biasa di pakai oleh kaum wanita) milik Malem dan satu lagi mengantungya di kusen jendela, agar kejadian ini seakan-akan tidak terencana dan orang-orang akan menganggap Malem kabur sendiri dari jendela.

            Sampai di luar, juak-juak wanita itu langsung masuk ke kamarnya; tidak ada yang melihat, dan dia lekas mengganti pakaiannya  dan kembali bekerja di dapur agar jangan ada yang curiga.

********************

            “Bapa Sutta, apa anakmu Sri Malem sudah makan?” tanya istrinya, memancing suaminya untuk melihat keadaan Malem agar seakan-akan dalam pelarian Malem tidak ada orang dalam yang membantu,  dan berpura-pura tidak tahu apa yang telah terjadi. “Apa sedikitpun kam tidak peduli lagi dengan putri’du itu?”

            Bapa Sutta hanya terdiam dan berjalan menuju kamar putrinya. Sampai di depan pintu kamar Malem, Dharma Ginting menyuruh juak-juaknya yang berjaga untuk membukakan pintu kamar Malem. Saat pintu dibuka, alangkah terkejutnya ia ketika melihat ranjang yang kosong, jendela terbuka lebar, dan sebuah uis gara tersangkut di kusen jendela kamar putrinya itu. Dengan sepontan ia berlari kearah jendela dan berteriak memanggil para juak-juaknya.

            “Kalian semua disuruh menjaga satu orang saja tidak becus!” Dia membentak kerasi para pengawal rumahnya “sekarang cari di sekeliling rumah, kesain (halaman, komplek, dusun, distrik) dan seluruh kuta (desa, permukiman), sebagian ikut denganku ke rumah pemuda sialan itu!” Dengan kesal dan dilingkupi kemarahan ia bersama Sutta puteranya dan beberapa juak-juaknya lekas menuju rumah Sangapta.

            Saat di cari di sekeliling rumah, kesain dan kuta, tidak ada tanda-tanda Malem, karena memang dia sudah di bawa Suang ke arah Lau Simalem untuk menemui Sangapta di sana.

            Setelah sampai di Lau Simalem, Suang langsung pergi meninggalkan Malem dan Sangapta agar jangan ada yang melihatnya, namun dia tidak lantas pulang ke sapo mbelin tetapi, atas perintah majikannya ibu Malem ia tetap mengawasi dari jarak yang jauh .

********************


            DI DEPAN RUMAH kediaman keluarga Sangapta.

            “Oi, Sangap!” teriak Dharma Ginting.

            Sepasang orang tua keluar dari dalam rumah “Apa gerangan yang membuat Anda datang kemari dan berteriak O, Ginting Mergana?” tanya bapa Sangap dengan nada lembut.

            “Aku tahu, pastilah anakmu si Sangapta itu yang membawa lari putriku,” Katanya penuh emosi “Jadi, tidak usah kamu menyembunyikannya. Aku hanya ingin putriku kembali, namun jika kamu menghalang-halangi, maka aku akan mengejar anakmu kemanapun dan ku jamin kamu tidak akan pernah bertemu dengannya lagi.”

            “Tidaklah ada maksud kami untuk menyembunyikannya o, Ginting Mergana!” jawab bapa Sangap.

            “Heh, Sudah!  Kamu tidak usah banyak omong” Dharma Ginting memotong perkataan bapa Sangapta “pengawal geledah rumahnya”. Dan para juak-juak Dharma pun menggeledah rumah keluarga Sangap, namun tidak menemukan mereka berdua.

            “Sekali lagi aku bertanya kepadamu, dimana kau sembunyikan anakmu dan putriku?” tanya Dharma dengan nada kasar dan penuh kemarahan.

            “Bukakkah tadi sudah saya katakan o, Ginting Mergana kalau tiada maksud kami menyembunyikannya,” jawab ayah Sangap dengan nada tenang “Sangap putera kami setelah selesai makan malam tadi, langsung pergi ke Jambur (aula/balai desa, dll) berkumpul dengan teman-temannya seperti biasa dan hingga saat ini kami belum ada bertemu dengannya.”

            Tanpa sepatah katapun Dharma Ginting berpaling dari hadapan ayah Sangapta dan pergi meninggalkan tempat itu menuju Jambur.

            Di Jambur-pun mereka tidak juga menemukan Sangapta dan tidak seorangpun teman-teman Sangapta yang tahu keberadaan dan apa yang sedang dilakukannya. Memang pelarian Sangap dan  Malem ini sangat tiba-tiba, sehingga tidak ada yang tahu akan hal ini selain yang terlibat langsung membantu pelarian mereka.

            Tidak bosan-bosannya Dharma Ginting mencari keberadaan Sangapta dan Malem, seluruh kesain (dahulu pembagian kuta berdasarkan kaum/merga) di cari, tempat-tempat biasa Sangapta datangi juga di geledah, namun hasilnya nihil.

********************

            Sementara itu. Sangap dan Malem terus berjalan menyusuri Lau Simalem tanpa tujuan yang jelas.

            “Oh, Biringku! Kemanakah kita akan pergi sekatrang?” tanya Malem kepada Sangap yang dari tadi hanya berjalan dan diam membisu. Sepertinya dia juga kebingungan harus kemana.

            “Aku juga tidak tahu Nande Gintingku” jawab Sangap datar. Sambungnya “tetapi, biasanya kalau sepasang pemuda/i yang lari untuk menyatukan diri (nangkih/lompat; kawin lari), biasanya mereka akan ke rumah anak berunya. Tetapi, aku takut ayahmu akan menyusul kita kesana nantinya, dan aku yakin itu!”

            “Aku letih Biringku,” dari tadi berjalan membuat Malem letih “Bagaimana kalau kita istirahat sejenak?” tanyanya.

            “Iya.” Jawab Sangabta datar.

            Duduk di bawah pohon besar di pinggir Lau Simalem, mereka saling bertatapan dan membisu di bawah terpaan cahaya bulan.

            “Biring! Jadi bagaimana?” desak Malem.

            “Bagaimana kalau kita pergi ke Tanah Deli? Aku pernah mendengar kalau banyak kaumku dari kaum Kesatria Meliala bermukim di Tanah Deli ataupun ke Tanah Langkat, mungkin disana kita akan aman.” Jawab Sangab.

            “Terserah kam.” Jawab Malem pasrah.

            Saat mereka isirahat karena letih, tak terasa malam semakin dalam dan menuju ke paginya. Di sisi lain Dharma Ginting dan para juak-juaknya terus mencari keberadaan mereka dengan gerak cepat. Semua juak-juak dan beberapa anak perana (pemuda) desa dikerahkan. Tanpa mereka sadari para pengejar sudah semakin dekat. Terdengar suara deru langkah dan cahaya dari obor yang berjalan berarakan seperti gerombolan kunang-kunang di malam hari.

            “Itu mereka” terdengar suara teriakan “Ayo, kejar!”

            Terkejut, Sangap dan Malem sepontan berlari dengan kencangnya. Seperti mereka lupa akan keletihan mereka tadi, terus dan terus berlari, hanya itu yang mereka tahu dan pikirkan.

            Tiba-tiba: “Aw...” Malem terjatu karena tersandung akar kayu yang menjalar di tanah dan saat diperiksaa oleh Sangapta, ternyata kaki Malem terluka dan jangankan berlari berjalan saja susah sangkin dia merasa sakit dan di tambah kecapekan yang belum hilang.

            Sadar pengejar semakin mendekat; keadaan kaki Malem yang terluka, Sangapta berinisiaif menggendong Malem dan berlari sekuat tenaganya. Namun, tiba-tiba di depannya Dharma dan beberapa juak-juaknya yang berkuda sudah menghadang  langkahya.

            “Mau lari kemana lagi kamu!” hardik Dharma, dan sepontan para juak-juaknya memukuli Sangapta.

            Dipukuli terus-menerus Sangapta seakan pasrah tidak melawan sedikitpun. Mereka terus memukulinya hingga Sangapta terkulai lemas di tanah; sekucur tubuhnya terluka, darahnya mengalir membasahi tubuhnya seperti baru dimandikan.

            Beberapa jauh dari tempat pengaiyayaan itu, Suang mengintip dari tempat yang tak terlihat. Merasa prihatin, namun takut ketahuan dia bingung harus berbuat apa. Sementara itu Malem hanya menangis meminta kepada ayahnya agar juak-juaknya berhenti memukuli Sangapta, namun sedikitpun Dharma tidak lagi memperdulikan pinta putrinya itu.

Melihat keadaan ini Suang merasa kasihan dan tidak tahan lagi melihat penganiyayaan itu, dia memasang cadarnya, melompat naik ke atas kuda dan melaju kudanya berlari kencang ke kerumunan orang itu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, dari atas kudanya yang berlari kencang itu ia menyambar tubuh sangapta dan membawanya pergi ke arah hutan yang gelap.

Dharma dan orang-orangnya seperti tidak merasa puas dan mengejarnya membuat Suang menjadi panik dan takut kalau Dharma sampai menangkap ataupun mengenalinya.

Suangpun memecu kudanya untuk berlari lebuh kencang, kemudian mengarahkannya ke kegelapan malam. Dia mengatur jarak agar para pengejar tidak dapat melihatnya. Di semak-semak yang rimbun dia turun dari kudannya dan menuntunnya bersembunyi.

Dharma dan para juak-juaknya sudah dekat, mereka kehilangan jejak Sunag.

“Berpencar dan cari ke semak-semak, mana tau mereka bersembunyi. Sutta kamu dan beberapa lainnya terus mengejar dan jika kalian melihat jejaknya cepat kabari kepada kami.” Printah Dharma Ginting.

“Iya, Bapa!” Jawab Sutta dan melaju kudanya.

 Kini posisi mereka sudah sangat dekat. Hal ini membuat Suang menjadi takut, panik, dan bingung harus bagaimana. Dia terus memikirkan cara untuk dapat lepas dari pengejaran itu.... tiba-tiba dia merasakan sayatan rih (ilalang) di kegelapan. “Oh! Rih kapken enda” katanya, dan mencabut sehelai rih itu lalu dia membacainya dengan tabas-tabas (mantra, jampi-jampi) dan menusukkan sehelai rih itu ke tanah. Tiba-tiba rih itu seperti bertumbuh, tingginya hingga empat meter dan tumbuh rapat serta lebat membentang ke suatu arah seperti membentuk sebuah gang yang dibatasi tembok dan juga rih itu seperti kaca yang memantulkan sinar bulan yang kala itu sangat terang, sehingga membuat setiap orang di sekitarnya merasa silau dan terganggulah pengelihatannya.

Kesilauan itu membuat Dharma Ginting dan para juak-juaknya tidak sanggup untuk membuka matanya, karena jika mereka membuka mata maka kesilauan itu seakan menusuk-nusuk dan membakar bola mata mereka, sehingga mereka semua membaringkan diri ke tanah dan menutup mata mereka.

Kemudian Suang pun kembali menunggang kudanya ke suatu arah diantara rih-rih yang tumbuh itu.

Merasa sekeliling sudah aman Suang mencabut salah satu dari sekian banyak rih itu dan sekejap semua rih-rih yang tumbuh seperti hangus menjadi abu dan silaunya juga sirnah, kemudian Suang menurunkan Sangap dari kudannya dan memapahnya ke dalam sebuh sapau/sapo (gubuk) di kaki Deleng(deleng = gunung, bukit), serta membaringkannya di bantar-bantar gubuk itu.

“Sangapta, anakku.” panggilnya.

            “Kam itu bapa?” tanya Sangap merintih dengan menahan sakit yang bukan main.

            Suang hanya diam dan membasuh luka Sangapta hingga bersih dan mengolesinya dengan ramuan obat.

            “Bujur bapa, kam sudah menyelamatkan nyawaku” kata Sangapta berterima kasih karena telah di selamatkan oleh Suang.

Suang hanya terdiam saja dan mengambil sehelai belo (sirih) dari dalam sumpit tempat kampilnya (menyerupai tas atau kantongan yang biasanya terbuat dari cikai (teki, papilius) dan menutupi tubuh Sangap dengan belo itu dan kembali membaca tabas-tabas, agar saat dia meninggalkannya nanti tidak ada yang dapat melihatnya dan mengganggunya baik manusia, roh, maupun binatang buas di hutan. Dan setelah itu dia pun pergi meninggalkan Sangapta sendiri di sapo itu.


*******************

            “Dasar anak tak tahu diri!” Dharma membentak-bentak putrinya Malem, “Sudah kubilang jangan lagi temui pemuda itu! Ini kamu malah mau lari dengannya. Buat malu keluarga saja.”

Dharma tah henti terus-menerus mengomeli putrinya itu, namun, Malem tidak pedulikannya.
 “Bapa! Aku tidak mau dijodohkan dengan yang lain, aku hanya mencintai Sangap” jawab Malem tegas.

            “Lantang kamu!” hentak Dharma sambil kembali melayangkan tamparan ke arah pipi Malem “Awas! Kalau kamu masih mencoba melarikan diari, aku menjamin kamu tidak akan menjadi putriku lagi, dan aku juga menjamin kalau si Sangap itu akan mati di tanganku. Camkan itu!” ancamnya.

            Malem hanya terdiam dan mengacuhkan ancaman ayahnya itu. Dan dalam hatinya hanya memikirkan cara untuk dapat bersatu dengan kekasih hatinya, Sangap.

*****************
           
            Beberapa hari kemudian, Sangap sudah mulai membaik dan dengan diam-diam di kegelapan malam dia berjalan sendiri menuju kuta’nya.

“Sangap, anakku! Mengapa demikian terjadi padamu anakku?” tanya ibunya, meratapi keadaan putranaya yang seluruh wajahnya dipenuhi luka memar. Kata ibunya lagi: “Kan sudah ayah dan ibumu katakan kalau jauhi wanita itu; orang tuanya pasti tidak akan merestui karena melihat keadaan kita, tetapi mengapa kamu nekat juga dan membawanya lari?”

            Sangap hanya membisu dan sesekali menarik nafas panjang menahan rasa sakit akibat luka di sekucur tubuhnya yang belum sepenuhnya sembuh.

            Malam-pun berlalu, ayam berkokok pertanda akan segera datangnya sang surya yang setianya menyinari dunia, namun hal itu sama saja bagi sepasang kekasih yang tidak dapat bersatu karena perbedaan setatus sosial itu. Saat yang lainnya sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing, Sangap dan Malem hanya murung di kamar meratapi nasib cinta mereka.

            Malem : “Oh, mama Biringku, morahkel ateku! Tiada arti lagi aku berkata-kata kepadamu, karena aku yakin engkau sudah tahu persis isi hatiku. Namun, benarkah ini sudah berlalu? Akankah ini akhir dari kisah cinta kita? Cintaku hanyalah unukmu! Bagaimana lagi aku harus berbuat, cintaku padamu tiada batas dan tiada akhir, walaupun maut harus memisahkan jiwa kita, tetapi hatiku tetaplah unukmu. Cintaku hanyalah untukmu!”

            Sangap : “Oh, Nande Gintingku jadi kel ateku... aku mengerti hatimu, seperti engkau juga mengerti akan isi haiku. Namun, aku selalu berfikir, tidaklah cintaku seperti mengejar batu yang menggelindingan di jurang yang terjal, jika ku kejar tak jua akan kudapat malah nyawaku jadi terancam, namun jikalau aku terpaku diam sirnahlah dari pandanganku. Tapi, walau demikianpun beratnya aku akan terus mengejar dan memperjuangkan cintaku walau ini tampak mustahil. Cintaku juga hanya untukmu!”

            Malem : “Oh, kam Deleng yang berdiri kokoh serta menaungi kuta-kuta di sekirtarmu, memberikan sumber mata air panas, belerang, serta kesuburan dan keindahan bagi orang-orang sekitarmu, aku mohon tunjukkan kebesaranmu dan satukan cintaku seperti engkau menyatukan kuta-kuta di sekitarmu... Aku mengharapkan cintaku akan datang menghampiriku saat ini juga. Tetapi.... tidaklah boleh aku se-egois itu, yang membuat nyawa terancam. Datanglah padaku walau dalam lamunan dan mimpi indahku o, Sembiring Meliala Mergana ateku jadi. Cintaku selamanya hanya untukmu!”

            Sangap : “Cintaku juga untukmu o, kekasihku! Walau jiwa dan ragaku akan melayang, itu harga yang pantas untuk sebuah cinta sejati. Penyesalan tidak akan pernah menghinggapiku, walau jiwa dan ragaku musnah dari muka bumi, karna cintaku hanyalah untukmu selamanya! Cintaku hanyalah untukmu!”

            Malem : “ Oh, Dibata Simada Kuasa! (Tuhan Yang Maha Kuasa) Engkau menciptakan manusia untuk saling mencinta. Namun, sekarang aku dan kekasihku telah menjalani hakekatku saling mencinta, tetapi mengapa Engkau tak jua memberi kesempatan kami untuk bersatu sampai selamanya? Cintaku! Cintaku! Hanyalah untuknya, dan tidak akan pernah berubah mesti maut datang.”

            Sangap : “Akupun demikian ....”

            Malem : “Jikalau memang tiada jodoh lagi diantara kita. Aku berkata! Ini juga berlaku untuk semuanya. O, singuda-nguda (gadis) beru Ginting Mergana. Aku berkata kepadamu sekalian: Jikalau cintaku tak jua bersatu, maka cintamu juga demikian oh, seninaku, sembuyakku  sekalian... malanglah nasibmu jua”

            Tiba – tiba langit gelap (gerhana matahari), bumi bergoncang, semburan debu vulkanik yang tebal melingkupi desa itu, hingga hujan debu dimana-mana. Lahar panas dari kawah gunung berapi menyembur menghinggapi desa dan membakar apa saja yang terkena oleh lahar panasnya, hal itu berlangsung hingga lebih kurang lima menit lamanya dan setelah itu berhenti.

            Sangap : “Janganlah pernah engkau mengutuk hai, kekasihku! Cinta kita adalah amanat bagi kita dan bukan derita bagi yang lain. Inilah jalan cinta kita; pembuktian tulus dan murninya cinta kita, walau harus menderita janganlah engkau sesali, sebab cinta mungkin memang harus begini.”

Malem : “Aku tak sanggup harus terus begini. Mungkin, inilah saatnya untuk kita akhiri.... hai engkau beru Ginting, jikalau hari ini tiada muzijat maka, inilah akhir bagimu jua.... dan ini berlaku hingga keturunan dari kaummu hai Ginting Mergana sampai paradigma baru generasi ketiga mengisi kehidupan ini. Dan selanjutnya turangmu akan mengatur hidupmu hingga kau harus takluk dan tidak ada lagi kaumku yang serupa denganku selamanya.”

Bumi kembali gelap dan berguncang semakin dasyatnya.... semburan lahar panas menghancurkan seluruh desa di sekeliling kaki bukit Deleng, batu-batuan seperti bola api berterbangan dan jatuh menghancurkan semua yang tertimpa olehnya, hutan – hutan sekitar terbakar, tanah terbelah membentuk sungai-sungai baru dan dialiri belerang panas berapi-api, debu vulkanik menghinggapi lagit, asap belerang yang tebal membuat setiap yang menghirupnya mati keracunan, uadara panas, mengakibatkan para penduduk harus mengungsi ke tempat yang jauh. Banyak jatuh korban jiwa termaksud Sangap dan Malem tertimbun lahar panas dan api..

Tiga bulan setelah petaka itu berlalu, saat para penduduk yang selamat kembali. Mereka tidak lagi mengenali desanya karena sudah rata dengan tanah; yang tertinggal hanya beberapa serpihan bebatuan dan tulang-tulang yang tidak dikenali lagi apakah itu tulang manusia atau hewan, karena sebulan lamanya semburan batuan api dan lahar panas menimbun desa itu.

Dharma Ginting, istri, putranya Sutta, dan beberapa juak-juaknya yang selamat juga ikut kembali ke desa membawa rasa sedih, penyesalan, dan bersalah karena puterinya Malem dan juga Keriahen ikut menjadi korban bencana itu. Dia sangat terpukul dan merasa bersalah memndangi desanya, sanak-saudara, dan kedua putrinya kini tinggal debu. Sejak saat itu dia menghilang entah kemana, namun ada yang berkata pernah melihatnya bersama seorang pendeta Berahmana, namun  ada juga yang mengatakan ia bunuh diri dengan membakar dirinya, dan ada juga yang mengatakan dia mengalami gangguan jiwa terlunta-lunta di huta dan di terkam harimau. Tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi pada Dharma Ginting semenjak saat itu. Tetapi kutukan beru Ginting berlaku, sejak saat itu setiap beru Ginting yang terlahir di kuta itu meninggal dalam usia muda dan jika tidak, akan menjadi perawan tua. Kutukan itu berlaku hingga keturunan generasi ke tiga, namun hingga sekarang banyak beru Ginting yang tidak sereh (menikah), dan Merga Ginting lebih didominasi atau dikuasai oleh Turangnya.

(Main2 nge Ginting Mergana/Beru. Hahahaha... Ula kena nembeg ya? Wkwkwkwk...)

S e k i a n .      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mejuah-juah!